Sabtu, 21 April 2012

UNTUK CALON AYAH DAN ABI

KARAKTERISTIK AYAH
Oleh: Rudy Himawan
Seorang Muslim sudah semestinya memikirkan masa depan dengan melakukan invesment -bukan dengan stock portofolio, 401K, rumah ataupun saving account, tetapi dengan shodaqoh jariyah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan membina anak yang sholeh/-ah. Ketiga aktivitas ini ternyata tercakup
dalam proses pendidikan anak dan apalagi Alhamdulillah banyak diantara kita yang telah dikaruniai anak, sehingga saya tergerak untuk merangkum 6 karakteristik kepribadian seorang ayah idaman.
1. Keteladanan
Suatu pagi, saya terperanjat ketika melihat cara putriku memakai sepatunya. Ia langsung memasukkan kakinya ke dalam sepatu tanpa melepas talinya. Rupanya selama ini ia memperhatikan bagaimana cara saya memakai sepatu. Karena malas membuka simpul tali sepatu, sering kali saya langsung memakainya tanpa membuka dan mengikat simpul tali sepatu. Saya berusaha melarangnya dengan memberikan penjelasan bhw cara memakai sepatu seperti itu bisa mengakibatkan sepatu cepat rusak. Namun hasilnya nihil. Ini merupakan satu contoh nyata bhw anak, terutama pada usia dini, mudah
sekali mencontoh orangtuanya. Tidak perduli apakah itu benar atau salah. Nasehat kita tidak ada manfaatnya, jika kita tetap melakukan apa yang kita larang.
Apakah kita sudah memberikan teladan yang terbaik kepada anak-anak kita? Apakah kita lebih sering nonton TV dibandingkan membaca Al-Quran atau buku lain yang bermanfaat? Apakah kita lebih sering makan sambil jalan dan berdiri dibandingkan sambil duduk dengan membaca Basmallah? Apakah kita
sholat terlambat dengan tergesa-gesa dibandingkan sholat tepat waktu? Apakah bacaan surat kita itu-itu saja?
Allah SWT berfirman dalam surat ash-shaff 61:2-3:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. “
Allah SWT juga mengingatkan untuk tidak bertingkah laku seperti Bani Israil dalam firmanNya dalam surat Al-Baqoroh 2:44
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)
mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
2. Kasih Sayang dan Cinta
Kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus merupakan dasar penting bagi pendidikan anak. Anak-anak usia dini tidak tahu apa namanya, tapi dengan fitrahnya mereka bisa merasakannya. Lihatnya bagaimana riangnya sorot mata dan gerakan tangan serta kaki seorang bayi ketika ibunya akan mendekap dan menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Bayi kecilpun sudah mampu menangkap raut wajah yang selalu memberikan kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang dengan tulus, apalagi mereka yang sudah lebih besar.
Rasulullah SAW pada banyak hadith digambarkan sebagai sosok ayah, paman, atau kakek yang menyayangi dan mengungkapkan kasih sayangnya yang tulus ikhlas kepada anak-anak. Sebuah kisah yang menarik yang diceritakan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id dari Abu Laila.
Dia berkata: “Aku sedang berada di dekat Rasulullah SAW. Pada saat itu aku melihat al-Hasan dan al-Husein sedang digendong beliau. Salah seorang diantara keduanya kencing di dada dan perut beliau. Air kencingnya mengucur, lalu aku mendekati beliau. Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan kedua anakku, jangan kau ganggu mereka sampai ia selesai melepaskan hajatnya.’ Kemudian Rasulullah SAW membawakan air.” Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Jangan membuatnya tergesa-gesa melepaskan hajatnya.’
Bagaimana dengan kita?
Sudahkan kita ungkapkan kecintaan kita yang tulus kepada anak-anak kita hari ini?
3. Adil
Siapa yang belum pernah dengar kata sibling rivalry dan favoritism? Jika belum dengar, maka ketahuilah! Siapa tahu kita termasuk orang yang telah melakukannya. Seringkali kita terjebak oleh perasaan kita sehingga kita tidak berlaku adil, misalnya karena anak kita yang satu lebih penurut dibandingkan anak yang lain atau karena kita lebih suka anak perempuan daripada anak laki-laki dll.
Rasulullah SAW bersabda: “Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu dalam pemberian.” (HR Bukhari)
Masalah keadilan ini dikedepankan untuk mencegah timbulnya kedengkian diantara saudara. Para ahli peneliti pendidikan anak berkesimpulan bahwa faktor paling dominan yang menimbulkan rasa hasad/ dengki dalam diri anak adalah adanya pengutamaan saudara yang satu di antara saudara yang
lainnya.
Anak sangat peka terhadap perubahan perilaku terhadap dirinya. Jika kita lepas kontrol, sesegera mungkin untuk memperbaiki, karena anak yang diperlakukan tidak adil bisa menempuh jalan permusuhan dengan saudaranya atau mengasingkan diri (menutup diri dan rendah diri).
4. Pergaulan dan Komunikasi
Seringkali kita berada dalam satu ruangan dengan anak-anak, tapi kita tidak bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Kita asyiik membaca koran, mereka asyiik main video game, atau nonton TV.
Banyak ahadith yang menggambarkan bagaimana kedekatan pergaulan Rasulullah SAW dengan anak-anak dan remaja. Beliau bercanda dan bermain dengan mereka.
Bagaimana dengan kita yang sudah sibuk kuliah sambil bekerja plus ‘ngurusin’ organisasi? Mana ada waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak? Sebenarnya ada waktu, jika kita mengetahui strateginya. Misalnya, sewaktu menemani anak bermain CD pendidikan di komputer, kita
bisa menjelaskan cara mengerjakan/bermainnya, lalu memberi contoh sebentar, lantas bisa kita tinggalkan. Begitu pula dengan buku bacaan dan permainan lainnya. Repotnya ada sebagian ayah yang tidak mau berkumpul dengan anak-anak, terutama yang menjelang dewasa karena takut kehilangan
wibawa atau kharismanya. Ini pandangan yang keliru. Yang lebih tepat adalah kita jaga keseimbangan, artinya kita tidak boleh terlalu kaku dalam memegang kekuasaan dan kharisma, tetapi juga tidak boleh terlalu longgar.
5. Bijaksana Dalam Membimbing
Rasulullah SAW bersabda: “… Binasalah orang-orang yang berlebihan …” (HR Muslim). Jadi metoda yang paling bijaksana dalam mendidik dan mengarahkan anak adalah yang konsisten dan pertengahan – seimbang, yakni tidak membebaskan anak sebebas-bebasnya dan tidak mengekangnya; jangan
terlalu sering menyanjung, namun juga jangan terlalu sering mencelanya. Bila ayah memerintahkan sesuatu kepada anaknya, hendaknya ayah melakukannya dengan hikmah, penuh kasih sayang, dan tidak lupa membumbuinya dengan canda seperlunya. Jelaskan hikmah dan manfaatnya, sehingga anak
termotivasi untuk melakukannya. Jangan lupa juga untuk memperhatikan kondisi anak dalam melaksanakan perintah atau aturan tersebut.
Imam Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa melatih pribadi perlu kelembutan, tahapan dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain, tidak menerapkan kekerasan, dan berpegang pada prinsip pencampuran antara rayuan dan ancaman.
6. Berdoa
Para nabi selalu berdoa dan memohon pertolongan Allah untuk kebaikan keturunannya.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim:35)
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku)Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.” (Ibrahim:39-40)

Senin, 02 Januari 2012

Keberkahan dari Allah dalam Romantika Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra

Kisah cinta Ali bin Abi thalib dan Fathimah Azzahra adalah salah kisah cinta yang penuh romantika dan keberkahan dari Allah. Bahkan Rasulullah pernah bersabda ” Allah menyuruh menikahkan Fatimah dengan Ali ” (Diriwayatkan oleh Thabrani).

Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua. Pedang berkilau harta kekayaannya. Begitulah seorang pujangga menggambarkan sosok Ali dalam syairnya.

Sementara Fatimah Azzahra adalah teladan bagi wanita. Ayahnya adalah manusia terbaik yang diciptakan Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, dan Ibunya adalah sebaik-baik wanita..Setiap langkahnya selalu memancarkan cahaya.

Saat meminang Fatimah, Ali menjual sebagian barang miliknya, termasuk rompi perang. Inilah yang menjadi mas kawin Ali kepada Fatimah. Semuanya bernilai 480 dirham. Dari jumlah itu, Rasulullah menyuruh menggunakan 2/3 nya untuk membeli wangi-wangian dan 1/3 nya untuk membeli pakaian.

Kehidupan rumah tangga mereka sangat sederhana. Sebuah rumah tanpa perabotan apapun. Hanya beralas tidur kulit domba, satu bantal berisi serabut korma. Bahkan fatimah pernah menggadaikan kerudungnya kepada seorang Yahudi Madinah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun Maha Suci Allah yang telah menjaga kebersihan rumah tangga Fatimah secara fisik dan ruhani.

Ali ra. berkata, ” Aku menikah dengan fatimah. Kami tidak memiliki alas tidur kecuali selembar kulit domba. Malam hari kami pergunakan sebagai alas tidur dan siang harinya kami jemur. Kami tidak memiliki pembantu, pekerjaan rumah tangga ditangani oleh fatimah. ketika fatimah pindah kerumahku, Rasulullah membawakan selimut, bantal kulit berisi serabut kurma, dua gilingan tepung, satu gelas, dan kantong susu. Saking seringnya menggiling tepung, sampai berbekas pada tangan Fatimah, dan saking seringnya membersihkan rumah sehingga pakaiannya penuh debu, dan saking seringnya menyalakan tungku sampai pakaiannya penuh arang ” (dikutip dari 35 Shiroh Shahabiyah, Mahmud Al-Mishri)

Rasulullah SAW memberikan perhatian yang tinggi agar setiap istri berkhidmat kepada suaminya, seperti nasihat beliau kepada Fatimah. Beliau bersabda :

” Wahai Fatimah, wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti menetapkan pada saat setiap biji tepung itu, kebaikan, menghapus kejelekannya dan meningkatkan derajatnya”

” Wahai Fatimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan yang di sebutkan di atas adalah keridhaan suami atas istrinya. Andaikan suamimu tidak meridhoimu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah wahai fatimah bahwa kemurkaan suami adalah kemurkaan Allah Ta’ala.”

“Wahai Fatimah, tidaklah wanita berkhidmat melayani suaminya sehari semalam dengan rasa suka dan penuh keikhlasan serta niat yang benar, melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya dan memakaikan kepadanya pada hari kiamat dengan pakaian yang hijau gemerlap, dan menetapkan baginya setiap rambut di tubuhnya seribu kebaikan, dan Allah memberinya pahala seratus ibadah haji dan umrah.”

“Wahai Fatimah tidaklah wanita yang tersenyum kepada suaminya, melainkan Allah akan memandangnya dengan pandangan kasih sayang.”

” Wahai Fatimah, tidaklah wanita yang membentangkan tempat tidur untuk suaminya dengan senang hati, melainkan malaikat pemanggil dari langit akan menyerunya untuk menghadapi amalnya dan Allah mengampuni dosanya yang sudah lalu dan akan datang”

” Wahai Fatimah, tidaklah seorang wanita yang meminyaki rambut serta janggut suaminya, dan mencukur kumisnya dan memotong kukunya, melainkan Allah memberikan kepadanya arak yang masih tertutup, murni dan belum terbuka dari sungai-sungai dalam surga Allah. Allah akan mempermudah sakaratul mautnya, kuburnya akan ditemui sebagai taman-taman surga. Dan Allah menetapkan baginya bebas dari neraka dan dapat melewati shirat.”

Ibnu Mas’ud ra, berkata, Nabi SAW bersabda : ” Apabila seorang perempuan mencucikan pakaian suaminya, maka Allah mencatat baginya seribu kebaikan dan mengampuni kesalahannya bahkan segala sesuatu yang disinari oleh matahari memintakan ampunan baginya, serta Allah mengangkat 1000 derajat baginya “

Salman Al Farisi meriwayatkan, bahwa suatu ketika Fatimah ra. berkunjung kepada Rasulullah. Ketika Rasulullah SAW melihatnya, kedua mata Fatimah mencucurkan air mata dan roman mukanya berubah. Kemudian Nabi SAW bertanya : ” Mengapa engkau hai anakku?” Fatimah ra. menjawab : ” Wahai Ayahku, tadi malam aku dan Ali bergurau, dan timbul percakapan yang menyebabkan dia marah kepadaku, karena kata-kata yang terlontar dari mulutku. Ketika aku melihat bahwa Ia marah, aku menyesal dan merasa susah, kemudian aku berkata kepadanya :
” Wahai kekasihku, kesayanganku, relakanlah akan kesalahanku, seraya aku mengelilinginya dan merayunya sebanyak tujuh puluh dua kali, sehingga dia menjadi rela dan tertawa kepadaku dengan segala kerelaannya, sedang saya tetap merasa takut kepada Tuhanku “

Rasullullah bersabda kepada Fatimah ra ” Hai anakku , demi Dzat yang telah mengutusku sebagai Nabi dengan dien yang benar, sesungguhnya jika sekiranya engkau mati sebelum Ali rela kepadamu, maka aku tidak akan menshalati mayatmu. ” Kemudian beliau bersabda lagi :
” wahai anakku tidakkah engkau mengetahui bahwa kerelaan seorang suami itu merupakan kerelaan Allah dan kemarahan seorang suami itu juga merupakan murka Allah. Wahai anakku, seorang wanita yang beribadah betul-betul seperti ibadahnya Maryam putri Imran, lalu suaminya tidak rela kepadanya, maka Allah tidak akan menerima (ibadahnya). Wahai anakku amal yang paling utama bagi para wanita ialah ketaatan kepada suaminya dan sesudah itu tidak ada lagi amal yang paling utama daripada bercumbu (dengan suami). Wahai anakku, duduk satu jam dalam bercumbu dengan suami, lebih baik bagi mereka daripada ibadah satu tahun, dan dicatat tiap-tiap pakaian yang dikenakan pada waktu bercumbu, seperti pahalanya seorang mati syahid. wahai anakku, sesungguhnya seorang wanita jika bercumbu sehingga memakaikan pakaian untuk suami dan anak-anaknya, maka sudah pasti baginya syurga dan Allah memberikan kepadanya tiap-tiap yang dikenakan dari beraneka pakaian dan sebuah kota di surga.”

Subhanallah..Allahu Akbar..
Kabar gembira bagi seorang Mar’atusshalihah,telah dijanjikan baginya syurga..

* Persembahanku menuju hari bahagia kelak…..

Sumber : http://nurul-rizqi.blogspot.com/

♥ஜ♥KISAH CINTA ALI DAN FATIMAH♥ღ¸.•´¯)♥ஜ♥

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.

”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”

”Entahlah..”

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”

”Dasar kamu!!”, kata mereka,

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Senin, 12 Desember 2011

Not Mine – Because I am Not A Valentine

All praise and thanks are due to Allah the Rabb of the Worlds and peace and blessings on His Messengerr the last and final Nabi and Rasool, our master Muhammadr, his family and companions and all those who follow them in excellence until the Day of Judgment. Thereafter.
They say, 'Imitation is the most sincere form of praise.' I say, 'Imitation is the surest sign of mental slavery.'
So what is Valentine's Day?
This is what my research on Google produced.
"In Ancient Rome, February 14th was a holiday to honor Juno, Queen of the Roman Gods and Goddesses. The Feast of Lupercalia started the next day.
During these times boys and girls were segregated. However, the young people had a custom that began on the eve of the Festival of Lupercalia. The girl's names were written on pieces of paper and inserted into jars. Each boy then drew a girl's name from the jar and they were partners throughout the Festival. After being paired, the children would often continue to see each other throughout the year and on occasion even fell in love and got married.
Emperor Claudius II of Rome, also known as Claudius the Cruel was having a difficult time recruiting men as soldiers. He believed that the men did not want to leave their sweethearts and cancelled all engagements and marriages throughout Rome. St. Valentine, a priest of Rome at the time, secretly married couples. He was eventually caught, arrested and condemned. He was beaten to death and beheaded on February 14th, around the year 270.
Lupercalia was a feast to a heathen God. Pastors and priests of the early Christian church did away with the pagan custom by replacing the names of the girls with the names of saints. They chose St. Valentine's Day as the day of celebration for the new feast.
Now, Alhamdulillah we all know the Islamic reasons why celebrating Valentine's Day is Haraam and why all the actions associated with it – contacting and being alone with non-Mahram men and women, flirting, having boyfriends and girlfriends, carrying on romances directly or on the internet and so on, are all Haraam.
I don't think in today's world there is any Muslim who can read and write and has access to the internet, who is ignorant enough to claim that he or she does not know that these things are actually Haraam. So I want to talk about another insidious and shameful aspect of this Festival of Shaytaan. I call it the 'The thin edge of the wedge'.
They called it freedom. And freedom is a good word, so we thought nothing of it. Freedom to do whatever they want, to be themselves, to express themselves, to have space; they called it. It sounded like a good thing. After all don't we all believe that the fight for freedom is the good fight and don't we support all those who are fighting to gain freedom?
We should have asked, 'Freedom from what? To do what? What does 'express yourself' mean? What is the meaning of 'space?'
Then we would have learnt that freedom meant, freedom from all restraint, all rules of decency, all that holds the fabric of moral, socially responsible society together. But then, isn't that what we used to call anarchy?
Yes it is, they said. But then you see, those are the quaint and frankly embarrassingly idiotic and backward, middle class values that we used to live by. High time we jettisoned them and joined the mainstream of modern society in the global village.
They forgot to tell us that in the global village the dominant culture is the culture of consumerism. The culture of consumption. The culture of self-indulgence with the only limit being the spending power of your credit card. They forgot to tell us that one day we have to pay for what we buy. That one day we will be called to account. They forgot to tell us that in the process of creating this society it was necessary to create a high degree of irresponsibility, a sense that only 'I' matter and the rest can go to hell. 'Each man for himself and the Devil take the last.' 'Family' in this society is a 6 – letter word; a bad word because families epitomize responsibility. And responsibility is another 14 – letter bad word. Responsible people save. They don't spend. They conserve. They don't waste. They become sedate. They don't follow fads and trends. Responsible people don't support consumerism. They are bad news.
So the family must be destroyed.
To do that promiscuity and immorality must first be encouraged. But you can't call it that, can you? That will draw too much flak. So they invented another phrase – adult consent.
Now being adult is all about taking decisions about your own life without anyone else having the right to 'interfere', right? If two adults want to do something who is anyone else, be it society, be it the law or be it religion, to dictate what they can and can't do? That is the opposite of freedom, right? And the opposite of freedom is oppression, right? And oppression is a bad thing, right?
So adult consent came into being. And we supported it.
Now to take the 'fight for freedom' to its next stage and that is, to define who is an adult. Age of consent. 21 years? Too old. People mature long before that. So 18? Why not 16? Ah!! The joy of a 16 year old!! But we can't talk like that. 16 is the ideal age of consent because a person is mature at 16, so why should they be prevented from exercising their right to freedom any longer? That sounds much better.
How do you make promiscuity acceptable in a society that insists on decency and morality?
A very powerful way is to call it 'Love'. A 'good' 4 – letter word for the real 4 – letter word for what it really is, 'Lust'. They promoted it in the form of a festival – Valentine's Day. 'What's the harm in it?' – they asked. It's only little boys and girls (of course most of them are not so little) expressing love for their sweethearts. Originally even Christian clergy opposed it but then, they succumbed.
Naturally Valentine's Day promotes the consumerist culture that is the real agenda – give people reasons to spend more and more. So let them express 'love'. Now what does that make those who say that this way of expressing love is Haraam? At best, killjoy Mullahs. At worst Islamist, terrorist, retarded, backward, oppressive – see the name game?
What did Allah tell us about such festivals and celebrations of Shaytaan? He said:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ


إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاء وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Al-Baqara 2:168. O mankind! Eat of that which is lawful and good on the earth, and follow not the footsteps of Shaytaan. Verily, he is to you an open enemy. 169. [Shaytaan] commands you only what is evil and Fahsha (shameful, sinful), and that you should say against Allah what you know not.
How do you make promiscuity acceptable in a society that insists on decency and morality?
Another excellent way is through advertisements, serials and movies. Bollywood, Hollywood and all the commercial product and service advertisements do a cardinal job of chipping away at the bastions of social morals until what was unmentionable a decade ago becomes fashionable in this decade. We call it entertainment. We call it being progressive. We call it being chic and those who don't subscribe are the squares.
That's the thin edge of the wedge. Once it gets into the doorway, the rest is inevitable, only a matter of time. So we thought nothing of a biscuit advertisement that showed a scantily dressed woman lounging languidly on a couch. We thought nothing of an ice cream stick ad which showed a woman licking the stick in a gesture that clearly reminded you of something else. We thought nothing of a pocket PC ad that focused more on the curve of the buttock supporting the pocket than the PC which protruded therefrom. And all the while we comforted ourselves with the thought that after all these were only bill boards featuring some women we did not know personally. So they can't hurt us, can they?
We did not see or chose not to see the real agenda – social engineering. Changing the standards of society. Changing what is acceptable and what is not. Changing what is considered taboo and what is not. Moving something from 'unthinkable' to 'aspirational'. You did not think it could be done, did you? Well, just look at the way advertising and films have changed over the last 3 decades and you will see how things that our parent's generation would have had a heart attack to see don't even attract a comment from us.
But why do you need a woman's naked body to sell ice cream? Isn't that oppression of women? No it isn't. You see, she is doing it of her own free will. Just like playing tennis in micro-skirts. Wearing a burqa is oppression. But what if the one wearing the burqa is doing it of her own free will? Not possible. The burqa is not religion. It is subservience. Ask Sarkozy. So it must be banned. But forcing people to take clothes off is as much oppression as forcing them to put them on, isn't it? Ah!! You will never understand. But it doesn't matter, because you don't matter. You are too old fashioned and out of date.
We watched pre-marital and extra-marital relationship scenes in movies in the name of story line and plot and marveled at the acting skill (after all it is all acting and not real, we comforted ourselves) until suddenly one day our children started to have similar relationships. When we watched the movie we never thought it would happen in our own home, did we? But then weren't we accepting the new world order when we paid to watch the movie? Was it not we who told our children that pre-marital or extra-marital sex was okay, when we watched the movie together as a family? Was it not we who gave our children the message that our morals had changed and that it was no longer necessary for them to take us as role models but instead to take the actors and actresses as worthy of emulation?
Then came television and the lovely serials, ending each day on a note of suspense that ensured that we watched what happened the next day. Bold & Beautiful, which may have been bold but was certainly not beautiful. Relationships of men and women that eventually got so confused that the woman who was once the wife of the father is now the wife of the son while simultaneously being the paramour of someone else. What freedom!! And where was all this happening and being watched? In our own living rooms. In homes where women were in purdah, extra-marital relationships were displayed in full detail and watched by the whole family completely without shame. Why? Because of course we believed it couldn't happen to us and what we were seeing was 'only acting'.
And for those of us who were among the watchers exclusively of National Geographic, talk shows, news and Animal Planet – well you see, it is the commercials that ensure that you can see these shows and what is in the commercials? Pushing the boundaries of desire, daring, challenging norms and making the impossible, possible. Not one of those words that I have used, will you challenge.
Not one of them in themselves is objectionable. But look at a commercial – almost anyone of them and you will see each of these concepts in a totally different light. But we didn't think about that, did we? Because we don't think, period.  And for those who don't watch any TV at all there are the newspapers, magazines and the ever present, ever more daring bill boards.
The thin edge of the wedge that was inserted in the doorway had very effectively worked its way in, and the door was now wide open.
So now we go the whole hog!! Homosexuality. Ah!! Before you start screaming, 'Stop!' It's all about freedom, see? And about adult consent. And about who is an adult. Did you not agree to all these concepts already? Were you not on the forefront right alongside us in the fight for our right to exercise our freedom and express ourselves and to have our personal space and to fulfill our desires? Well, so what's the problem now? It's all about desire, see?
Goodbye, old chap. It's now our world. Ask your children if you don't believe me.
In the Washington March for Gay Pride in 1993, they chanted, "We're here. We're queer. And we're coming after your children."
You say it's not natural? Well neither is ice cream.

- Artikel iluvislam.com

Demi Cinta Allah

Dia ingin berubah. Dia ingin jadi seperti dahulu. Sentiasa mengingati Allah, sentiasa takut akan azab-Nya, sentiasa taat pada perintahn-Nya, dan sentiasa jaga batas pergaulan. Dia yakin dan percaya, perempuan yang dijaga oleh Allah, pasti tidak akan membenarkan mana-mana tangan lelaki menyentuh dirinya.
Namun, takala dia merasakan dirinya cukup bahagia dengan hidayah Allah, Allah menguji dirinya. Allah menghadirkan dirinya dengan seorang lelaki yang menuntut balasan cinta. Dirinya dimewahkan dengan kata-kata pujian, dengan gurindam rindu dan madah-madah cinta yang sebelum ini tidak pernah meneroka hati dan jiwanya.
Dia percaya cinta dari Allah, tapi dia lupa itu bukan caranya. Dia alpa. Hatinya sudah tidak seperti dahulu. Hatinya dilimpahi rasa rindu si jejaka. Rindu si nafsu yang mengwar-warkan kemanisan cinta manusia. Bukan dia tidak sedar dia sudah berubah, bukan juga dia tidak sedar bahawa ketenangan hati yang pernah dianugerahkan oleh Allah semakin menjauhi. Dia menutup kesedaran itu dengan janji dan kata-kata cinta si jejaka.
Dia sudah jauh dari hidayah Allah. Imannya rapuh, syaitan menari-nari tatkala dia membenarkan tangan rakus si jejaka menyentuh dirinya bersama alunan syahdu janji kekasih. Tempat yang sepatutnya dia jaga, didedahkan. Kononnya yakin si jejaka adalah suaminya.
Tidakkah dia takut dengan dosa atau dengan azab Allah?. Ya, dia sedar tetapi separa sedar. Rasa sayangnya pada jejaka itu mulai melebihi segalanya. Namun, syukur pada Allah, Allah masih sayang padanya. Jejaka itu gagal menawan mahkota dirinya. Saat dirinya berutus cinta, dia masih lagi solat, dia tidak lupa tanggungjawabnya. Namun mungkin solatnya masih tidak sempurna lalu robohlah benteng imannya dipukul ombak nafsu cinta manusia.
Allamdullilah. Allah menurunkan hidayah pada dirinya. Di saat jejaka menyepikan diri seketika, dirinya dilanda rasa berdosa. Mengingati kembali dosa-dosa yang dilakukan, mengalir air mata kekesalan. Disaksikan kegelapan malam, dia bangun untuk bersolat taubat. Menangislah dirinya sepuas-puasnya. Dia memohon petunjuk pada Allah, dia ingin kembali, kembali atas cinta. Demi cinta Allah yang tidak pernah berpaling dari hidupnya dia nekad untuk berubah. Namun hatinya sedikit takut akan janji Allah.
"Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan begitu sebaliknya."
Apa yang patut dia lakukan kini. Dia mula merasakan dia bukan dari kalangan wanita yang baik-baik. Tidak layak untuk sesiapa. Dia menutup pintu hatinya seketika dari cinta manusia yang bernafsu yang mengeruhkan kolam keimanannya yang pasang surut. Sehingga ditakdirkan Allah untuk dirinya bertemu dengan seseorang yang mencintainya kerana Allah.
"Demi cinta Allah yang ku kejar, kuatkan hatiku untuk bertahan, berikan ku kecerdasan akal untuk sentiasa berfikir tentang kuasaMu, hulurkan pertolonganMu di saat-saat aku hampir tewas, sinarkan nur hidayahMu untuk aku terus di jalanMu. Ya Allah! Aku memohon keampunan kepadaMu."
-Artikel iluvislam.com

Tunangan Halalmu Hanya Selepas Nikah!

Pertunangan bermaksud perjanjian yang dibuat oleh pasangan untuk melangsungkan perkahwinan. Ia adalah satu sunnah yang dituntut dalam Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW kepada isteri baginda Aisyah Binti Abu Bakar dan Hafsah Binti Umar. Dengan berlangsungnya ikatan pertunangan tersebut, maka tergalaslah sebuah komitmen yang tidak rasmi pada diri seorang lelaki dan wanita yang belum berkahwin untuk mengenal hati budi masing-masing.
Islam membenarkan pertunangan sebagai cara untuk pasangan yang ingin berkahwin mengenali bakal isteri dan suami termasuklah ahli keluarga mereka sama ada dari segi fizikal dan mentaliti. Jadi sudah tidak hairan lagi pada kita jika ramai pasangan yang bercinta pada hari ini melangsungkan pertunangan sebelum mereka berganjak ke gerbang perkahwinan. Tapi  silapnya pada masa kini,  fitrah pertunangan ini sudah menjadi fitnah.
Konsep Pertunangan
Menurut konsep pertunangan dalam Islam yang sebenarnya, sesebuah  pasangan perlu bertunang terlebih dahulu sebelum berkenalan dengan lebih rapat dengan pilihan hati mereka. Ia tidak lain adalah untuk menjaga kesucian sebuah perhubungan agar diredhai oleh Allah. Namun, yang berlaku pada hari ini adalah sebaliknya. Selepas berkenalan dengan pasangan masing-masing dan berpuas hati dengan sikap, perangai dan tingkah laku barulah mereka mengikat tali pertunangan. Ia sekadar menjadi petanda seseorang itu sudah mempunyai pemilik.
Bertunang tiada bezanya dengan bercinta. Ramai yang tersalah tafsir dengan adanya ikatan pertunangan, maka mereka mempunyai lesen untuk berdua-duaan, berpegang-pegangan dan melakukan pelbagai aktiviti bersama. Sememangnya dalam tempoh bertunang pasangan dibenarkan untuk mengenali dengan lebih mendalam tentang diri pasangan dan pada waktu inilah mereka perlu memanfaatkan masa yang ada untuk berkenalan tetapi kita perlu ingat, jangan sampai ia melanggar syariat yang digariskan oleh Islam.
Jauhi Perkara Zina
Kebanyakan umat Islam hari ini menganggap penzinaan itu adalah semata-mata melakukan persetubuhan haram. Sebenarnya, bukan perbuatan zina itu sahaja yang dilarang keras tetapi kelakuan dan tindak tanduk yang mendorong berlakunya perbuatan tersebut. Maksud perkataaan zina itu luas yang mana meliputi semua aspek perlakuan. Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud, "Zina kedua-dua mata itu memandang perempuan yang ajnabi, zina kedua-dua telinga itu mendengar, zina kedua-dua tangan itu menyentuh, zina kedua-dua kaki itu melangkah dan zina hati itu mengingini dan menangan-angankannya." (Hadis Riwayat Bukhari & Muslim)
Jelaslah kepada kita semua perlakuan dalam perhubungan antara lelaki dan perempuan yang sudah akil baligh dan bukan mahram termasuklah yang sudah bertunang atau tidak, melainkan yang sudah berkahwin adalah dikira zina. Ia adalah perkara-perkara yang membuka peluang dan menimbulkan dorongan sekali gus memberi laluan mudah kepada pasangan bertunang untuk melakukan permulaan zina. Ini kerana, mereka telah meletakkan diri mereka berdua-duaan di suatu tempat dan seterusnya mendorong melakukan kemuncak kepada perbuatan yang terkutuk. Apabila berdua, maka akan ada yang ketiga.
Rasulullah SAW telah bersabda, "Janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan wanita, sesungguhnya yang ketiga di antara mereka berdua adalah syaitan." (Hadis Riwayat Imam Ahmad).
Ramai Bersubahat
Larangan berdua-duaan dan perlakuan yang membawa kepada perbuatan zina itu bukan sahaja ditujukan kepada pasangan yang bertunang sahaja tetapi termasuklah orang-orang sekeliling yang turut terbabit atau bersubahat. Ramai antara kita yang tidak sedar bahawa mereka secara tidak langsung terlibat dengan perlakuan yang hampir kepada zina. Contohnya dalam kalangan ibu bapa yang sengaja membiarkan anak-anak teruna dan gadis mereka keluar berdua-duaan. Kononnya,  ibu bapa yang 'sporting' dan memberi kebebasan serta kepercayaan kepada anak-anak mereka.
Kerana ceteknya ilmu agama dan terpengaruh dengan amalan dan budaya sosial Barat yang moden dan terkini, mereka tidak mahu dipandang kolot dan dan dilihat alim. Ramai yang menganggap apa yang mereka lakukan itu adalah perkara biasa dan sudah menjadi tradisi malah selari dengan zaman moden sekarang ini. Tambahan pula, ada ibu bapa yang sengaja membiarkan anak-anak berdua-duaan dengan tunang dan kekasih mereka kerana mengingatkan manisnya zaman percintaan mereka semasa muda dahulu dan ingin anak-anak mereka merasai nikmat alam percintaan sebagaimana mereka dahulu.
Bertunang Bukan Tiket Buat Maksiat
Fenomena keruntuhan akhlak yang berlaku dalam kalangan muda mudi sekarang khususnya yang beragama Islam boleh menyebabkan merebaknya kelahiran anak luar nikah dan sebagainya. Itu adalah antara bukti-bukti penerimaan ibu bapa dan masyarakat sekeliling kepada aktiviti berdua-duaan pada pasangan bertunang. Jangan biarkan diri terhantuk baru tengadah. Sedarlah, pengaruh budaya barat dalam bidang sosial ini harus dianggap sebagai virus berbahaya yang merosakkan budaya Islam sekaligus meruntuhkan kekuatan umat Islam.
Oleh itu, walaupun sudah bertunang, jangan anggap ia sebagai tiket untuk berdua-duaan dan menghalalkan segala bentuk perhubungan sebagaimana suami isteri. Pastikan jalinan hubungan cinta itu tidak melanggar hukum Allah dengan tidak ada pergaulan bebas, tidak berdua-duaan, tidak mendedahkan aurat, tidak meninggalkan solat dan sebagainya. Jangan jadikan hubungan tersebut perkara yang melalaikan dan merugikan. Kita masih belum menjadi hak milik pasangan kita sepenuhnya. Jagalah maruah agama, diri dan keluarga. Jangan disebabkan racun dalam percintaan ini disangka baja dan mampu menyuburkan hubungan yang dibina berkekalan kerana setiap apa yang berlaku berbalik kepada ketentuan Allah.
Cinta yang suci dan terpelihara pasti akan membawa pasangan yang sudah bertunang ke gerbang perkahwinan sehingga kemanisannya dan kebahagiaannya tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Ketika itulah fitrah menjadi anugerah.
- Artikel iluvislam.com

Bertunang Seperti Booking Kereta Baru

Agak janggal juga kalau dalam seratus peserta kursus praperkahwinan ada yang datang secara berseorangan. Hal ini kerana biasanya peserta itu datang berpasangan dengan tunang masing-masing. Malah ada sesetengah tempat yang membiarkan pasangan itu duduk berdekatan dalam dewan kursus.
Inilah realiti hari ini yang sukar diubah dalam pemikiran umat Islam, "ini tunang saya". Bayangkan kalau ke tempat kursus praperkahwinan pun mereka boleh datang secara begitu, apalah halangan untuk mereka berbuat begitu untuk shopping, berdating dan menonton wayang. Apakah dengan bertunang membolehkan mereka berbuat begitu?
Jelas di sini, mereka tidak faham kedudukan tunang dalam Islam, bahkan ibu bapa juga tidak faham hukum Islam secara tepat. Oleh sebab itu, sering kita lihat dan dengar ibu bapa yang berasa risau kalau tunang anaknya tidak datang menjengok anaknya pada hujung minggu. Malah ada ibu bapa yang menyuruh anaknya keluar dengan tunang pada hujung minggu.
Hakikat Bertunang
Bertunang hakikatnya satu perjanjian persetujuan untuk berkahwin. Apabila kedua-dua belah pihak bersetuju maka satu tanda ikatan dimeterai bersama. Sebagai tanda ikatan pihak lelaki dan perempuan akan saling menyarungkan cincin pertunangan dan ada juga yang memberikan hadiah lain.
Pada pandangan anda, apakah dengan persetujuan ini, sudah ada ikatan rasmi? Atau apakah hubungan mereka sudah semakin bebas?
Bagi memudahkan kita memahami stuasi ini, suka saya membandingkan pertunangan dengan "booking kereta" sewaktu kita bersetuju untuk membelinya di bilik pameran kereta tersebut. Biasanya syarikat kereta itu akan meminta RM500 - RM1000 sebagai wang pendahuluan tanda jadi.
Kalau kereta yang dimaksudkan itu sudah ada di dalam bilik pameran, mungkin proses pembeliannya hanya akan selesai dalam tempoh seminggu. Tetapi kalau belum ada, mungkin sebulan atau lebih bergantung kepada tempahan.
Walau bagaimanapun, untuk membolehkah kereta itu dikeluarkan, pembeli perlu membayar 10 peratus daripada harga kereta tersebut dan bakinya akan diselesaikan oleh bank. Kemudian apabila kereta itu sudah didaftarkan oleh Jabatan Pengangkutan Jalan (JPJ), barulah pembeli itu boleh membawa balik keretanya ke rumahnya.
Ya, berdasarkan proses di atas, bolehkah si pembeli yang baru memberi RM500 atau RM1000 itu, masuk dalam kereta tersebut dan membawa keluar dari bilik pameran? Setahu saya, tidak dibenarkan. Dia hanya boleh masuk untuk duduk dan memegang stering dan mendengar enjin sahaja, selebihnya tidak boleh. Tetapi kalau kereta terpakai (usecar), jurujual boleh membenarkannya untuk memandu dengan syarat jurujual itu duduk di sebelahnya.
Bayangkan kalau baru booking kereta, begitu kedudukannya, apa pula hukumnya seseorang yang baru bertunang yang hanya sekadar menyarung cincin pertunangan. Jadi, pertunangan dalam Islam sepatutnya mencontohi proses di atas. Sebab itu dalam Islam tempoh pertunangan tidak digalakkan terlalu lama.
Dalam tempoh pertunangan itu terdapat beberapa perkara yang diharuskan. Antaranya ialah:
1. Perhubungan pasangan itu hanya boleh dilakukan di rumah perempuan dengan ditemani oleh mahramnya. Ini bermakna, kalau lelaki membawa kakaknya sebagai teman tidak memadai.
2. Jika lelaki mahu membawa keluar tunangnya, perlulah dibawa bersama ibu atau bapa perempuan itu atau sekurang-kurangnya abang atau kakak perempuan tersebut.
3. Dalam tempoh pertunangan mereka boleh saling mengenali antara satu sama lain untuk mencari keserasian.
4. Dalam keadaan apa sekalipun sentuhan baju tunang adalah dilarang apatah lagi menyentuh kulit termasuk tangan.
5. Tidak digalakkan pasangan tunang itu bermalam dan tidur di rumah pasangan masing-masing walaupun dalam bilik berasingan.
Syariat Dipertahankan
Islam menyediakan peraturan syariat adalah untuk menjaga maruah diri dan keluarga tunang sebelum mereka berdua disatukan. Hakikatnya peraturan ini bukan bertujuan menyusahkan umat Islam. Malah sekatan dalam pertunangan itu boleh menjadikan mereka teruja untuk menunggu tarikh perkahwinan sebenar.
Bayangkan kalau pasangan itu sudah hidup seperti suami isteri dalam tempoh pertunangan, apakah mereka akan teruja dengan tarikh tersebut. Pada mereka, tarikh itu tidak penting lagi kerana kehidupan suami isteri sudah pun bermula. Malah jangan terkejut, ada kes seperti ini, yang lelaki bertindak memutuskan pertunangan atas alasan bakal isterinya tidak dara lagi.
Jelas di sini batasan yang dibuat ini adalah untuk keselamatan masa depan pasangan itu. Apa tidaknya, sebelum akad nikah pasangan itu masih suci, tidak ada dosa sentuhan, tidak ada dosa besar sama ada khalwat atau zina, tidak mencemarkan nama baik keluarga dan Islam. Jadi, pada waktu akad nikah mereka berdua adalah orang yang bersih di sisi Allah dan manusia.
Tetapi tahukah anda, jika sesuatu pasangan yang bertunang itu tidak mampu untuk mempertahankan syariat di atas, kehidupan mereka setelah berkahwin tidak begitu harmoni kecuali mereka benar-banar bertaubat sebelum diakadnikahkan. Allah yang maha pengampun bersedia mengampunkan dosa mereka jika mereka serius memohon keampunan kepada Allah.
Penguatkuasaan Dari Dalam
Demi maruah diri, keluarga, dan Islam, ibu bapa hendaklah mendidik anak-anak sebelum bertunang tentang hukum ini agar mereka tidak melanggar syariat sesuka hati. Saya percaya, anak-anak akan mudah memahami dan menghormati peraturan ini jika ibu bapa dapat menunjukkan contoh yang terbaik dalam urusan ini.
Selain itu pihak penganjur kursus pra-perkahwinan seharusnya mengenakan syarat kepada peserta agar mematuhi kehendak syariat. Mereka boleh dibenarkan membawa pasangan, tetapi mereka perlu diberi penjelasan tentang hukum ini. Dan dalam dewan pula, kedudukan mereka perlu dipisahkan termasuk dalam dewan makan.
Tidak kurang penting juga, pihak Penolong Pendaftar Nikah (PPN) yang setiap hari dikunjungi pasangan tunang untuk memohon perkahwinan, sebaiknya mereka itu dinasihatkan agar mematuhi hukum di atas. Teguran PPN ini penting sebagai ilmu asas sebelum mereka berkahwin. Malah sebaiknya ajarkan mereka supaya bertaubat sebagai persiapan sebelum diijabkabulkan.
Saya percaya kalau semua ini dapat difahami dan dilaksanakan oleh pihat terbabit, umat Islam akan terbina maruahnya kembali setelah selama ini dicemarkan oleh umat Islam sendiri.
- Artikel iluvislam.com